Selasa, 03 Mei 2011

artikel






Senin, 31 Mei 2004





NASIONAL
Line


Nasib TKI di Malaysia (1)
Ratusan Wanita Dijadikan Pelacur
http://www.suaramerdeka.com/harian/0405/31/sm1tkinas31.jpg
DUDUK TERMENUNG: Tarmini (22) duduk termenung, meratapi nasib malangnya. TKW asal Kabupaten Indramayu, Jabar, itu ditipu agen penyalur dan dijadikan pelacur di Malaysia. (69) - SM/M Saronji
Mengadu nasib di negeri orang tidaklah selalu menyenangkan. Banyak TKI bernasib malang di luar negeri, meskipun harus diakui tidak sedikit yang berhasil dan sukses. Nasib yang dialami oleh Nirmala Bonat (19), TKW asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang disiksa secara sadis oleh majikannya, hanya satu dari sekian banyak contoh kisah sedih yang menimpa TKI di negeri jiran. Wartawan Suara MerdekaMohammad Saronji semalam melaporkan dari Kuala Lumpur, Malaysia.
PEREMPUAN muda itu duduk termenung. Pandangannya tampak kosong. Ia seakan merenungi nasib malang yang tengah menimpanya di luar negeri. Harapan untuk memperoleh gaji yang besar sebagai TKI di Malaysia pupus. Keinginannya mendapatkan lembaran-lembaran uang ringgit Malaysia (RM) pun tinggal impian.
Perempuan itu bernama Isa (18). Wanita belum berkeluarga itu mengaku berasal dari Dukuh Sekardoja Desa Karangan Kecamatan Pamulian Kabupaten Brebes, Jateng. Pada 2003, ia mendapat informasi tentang lowongan pekerjaan di Malaysia dari Teguh. Laki-laki asal Cilacap (Jateng) itu pula yang kemudian memberangkatkan Isa ke Malaysia.
Informasi yang diperoleh Isa, Teguh adalah seorang penyalur TKI ke luar negeri, termasuk ke Malaysia. Karena itu, ketika ditawari untuk berangkat kerja di Malaysia, Isa pun langsung menyanggupinya. Di sana, ia dijanjikan bekerja sebagai pelayan restoran dengan gaji per bulan 700 RM (1 RM = Rp 2.500). Namun, sesampai di Malaysia, gadis berparas cantik itu ternyata tidak dipekerjakan di restoran, tetapi dijadikan pelacur. "Saya disekap di sebuah hotel untuk dijadikan pelacur. Di hotel itu saya diberitahu oleh Acong, salah seorang agen penyalur di Malaysia, bahwa kerja saya bukan pelayan restoran melainkan 'melayani' tamu-tamu," ujarnya.
Ia mengaku hingga sekarang TKW yang disekap dan dijadikan pelacur di sana ratusan orang. Mereka ada yang disekap di hotel, apartemen, penginapan, dan tempat-tempat rahasia lain. Mereka ada yang kabur dan kemudian lari ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Malaysia di Kuala Lumpur, ada juga yang masih disekap dan sampai sekarang dijadikan wanita pemuas lelaki hidung belang. Isa termasuk TKW yang beruntung karena ia bisa kabur dari hotel tempat dia disekap selama ini.
Ia kemudian menceritakan bagaimana dirinya bisa sampai bekerja di Malaysia. Dia datang ke negeri jiran itu melalui jasa perseorangan, yakni Teguh. Dari Brebes ia naik bus kemudian naik kapal menuju Medan. Dari Medan ia naik kapal lagi menuju Dumai (perbatasan Malaysia-Indonesia). Di sana ia dijemput agen dan dibawa ke kamar sebuah hotel di kawasan Talang, Kuala Lumpur.
Di kamar tersebut sudah ada tiga wanita lain, yang belakangan diketahui juga disekap seperti dirinya. Seperti penjelasan Acong, mereka semua dipekerjakan sebagai pelacur. Karena jenis pekerjaan tidak seperti yang dijanjikan, suatu hari pada pukul 03.00 ia kabur lewat jendela hotel. "Meskipun disekap beberapa hari, beruntung saya belum diapa-apakan."
Saat kabur itulah, ia diselamatkan oleh seseorang yang mengaku sebagai polisi. Perempuan itu percaya begitu saja dengan laki-laki itu karena orang itu menunjukkan tanda pengenal. Apalagi, ia memang sangat membutuhkan pertolongan untuk menyelamatkan diri agar tidak dijadikan wanita penghibur.
Karena masih malam, Isa kemudian disuruh istirahat sampai menunggu pagi hari. Ia kemudian diinapkan di sebuah penginapan di sana. Saat itu ia diberi minuman agar bisa istirahat dengan tenang. Namun, beberapa saat setelah minum, kepalanya terasa berat dan ia pun tidak ingat apa-apa. Saat terbangun, ia baru sadar bahwa dirinya telah "dikerjai" laki-laki tersebut. "Semula saya berpakaian lengkap, tapi ketika terbangun sudah lepas semua."
Nasib malang juga dialami Tarmini (22), TKW asal Desa Tugu Kecamatan Lelea Kabupaten Indramayu, Jabar. Perempuan berparas cantik itu juga mengaku disekap satu bulan empat hari di sebuah apartemen di Malaysia. Sebagaimana Isa, ia juga dijadikan wanita panggilan tanpa dibayar.
Ia menceritakan, keberangkatannya ke Malaysia karena ingin mendapatkan uang yang banyak. Janda muda tanpa anak itu memang belum lama bercerai dari suaminya. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia kemudian ke luar negeri.
Tarmini berangkat ke Malaysia pada 12 Februari 2004. Ia berangkat ke luar negeri, semula karena didatangi seseorang bernama Wastijah (Indramayu) dan Dapit (Jakarta). Waktu itu, ia diberi informasi dan dijanjikan bekerja di restoran dengan gaji Rp 2,5 juta per bulan. Penampilan Wastijah dan Dapit sangat meyakinkan, sehingga Tarmini pun tertarik dan bersedia menjadi TKI. Apalagi gratis.
Ia berangkat lewat Pontianak (Kalimantan) dengan naik pesawat. Dari Pontianak terus menuju Kucing (Malaysia) dengan jalan darat. Kemudian dari Kucing terbang menuju Kuala Lumpur.
Di ibu kota negara tetangga itu, ia dijemput oleh seseorang bernama Acong (agen penyalur) dan dibawa ke apartemen. "Oleh Acong saya kemudian dijual kepada Alex dengan harga 3.500 RM. Setelah itu, saya dibawa Alex dan diinapkan di rumahnya, yang alamatnya saya tidak tahu. Di sana saya disekap dan dijadikan pelacur," tuturnya.
Tarmini juga mengatakan, sampai sekarang banyak wanita Indonesia ditipu dan dijadikan wanita penghibur di Malaysia. "Wanita-wanita itu rata-rata disekap di sebuah tempat dan diperjakan pada malam hari agar melayani tamu-tamu di hotel. Mereka ratusan orang. Yang berhasil kabur dan sekarang tinggal di penampungan KBRI saja sekitar 50 orang. Yang tidak bisa kabur dan masih disekap masih banyak, ratusan. Mungkin ribuan," ujarnya.
Tidak Boleh Istirahat
Tarmini menyebutkan, pada siang hari dirinya disekap di rumah Alex. Rumah itu dijaga sejumlah tukang pukul. Pada malam hari dirinya dibawa ke hotel dan dipaksa melayani tamu-tamu hidung belang. Perlakuan itu dia alami setiap malam. Ia tidak boleh beristirahat. Bahkan, meskipun sakit ia tetap harus melayani para tamu.
Tarmini mengaku rata-rata setiap malam harus melayani 4-5 orang. Kalau hanya melayani 3 tamu ia dimarahi. Bukan hanya itu, ia juga dihukum dengan cara dikunci dalam kamar kecil dan tidak diberi makan satu hari penuh.
Bagaimana dengan gaji? "Saya tidak digaji sepersen pun. Gaji yang dijanjikan penyalur di Indonesia Rp 2,5 juta per bulan hanyalah impian," ungkapnya.
Dia menuturkan, uang bayaran dari para tamu semuanya diterima Alex. Per tamu membayar 158 RM untuk waktu 45 menit. Kalau satu malam penuh membayar 700 RM.
Jika kebetulan tamunya berbaik hati, Tarmini diberi tips 10 RM. Namun, itu jarang terjadi. Sebaliknya, beberapa tamu malah memperlakukannya secara tidak manusiawi. "Tamu yang kurang ajar itu sering memperlakukan saya seperti 'anjing'. Kalau tidak menurut kemauannya, tamu itu protes, dan saya dimarahi oleh tukang pukul. Daripada dimarahi, terpaksa saya menuruti kemauannya," tutur Tarmini sambil kembali menyeka air matanya. Saat Suara Merdeka mewawancarainya, beberapa kali buliran air matanya mengalir di pipinya yang putih bersih.
Sewaktu berada di penyekapan, ia tak henti-hentinya berdoa kepada Tuhan agar bisa keluar dari apartemen "neraka" tersebut. Doa Tarmini pun terkabul. Pada Minggu 20 Maret 2004, kebetulan Alex menengok istri mudanya di Jakarta. Penjaga apartemennya juga sedang tidak ada di tempat, entah pergi ke mana. Saat itulah, ia kabur.
"Saya kabur pukul 16.00. Saya lari dari lantai 24 lewat jendela. Saya tidak tahu nama apartemen yang dijadikan untuk menyekap saya. Yang saya tahu, saya disekap di lantai 24."
Begitu sampai di bawah, ia kemudian naik taksi menuju KBRI di Jl Tun Razak 233 Kuala Lumpur 50400, Malaysia. Sopir taksi itu kebetulan orang Sunda (Indonesia). Ia kemudian tidak mau dibayar begitu mengetahui nasib malang yang menimpa Tarmini.
Wanita itu menyatakan kapok pergi ke luar negeri sebagai TKI. Walau diiming-imingi bayaran atau gaji berapa pun, ia tidak akan tertarik. Ia tampak trauma sekali. Setelah pulang ke Tanah Air suatu saat nanti ia berencana akan menjadi buruh tani.
Diceritakan, TKW yang dipekerjakan sebagai wanita penghibur di Malaysia kalau hamil langsung dibawa ke Pontianak, Kalimantan. Di sana ia disekap oleh agen penyalur sampai melahirkan. Setelah itu, dibawa lagi ke Kuala Lumpur untuk dijadikan PSK.
Titip Pesan
Kepada Suara Merdeka , Tarmini titip pesan untuk orang tuanya, Ny Jumroh. "Bu, maaf ya. Di Malaysia saya tidak berhasil. Saya tidak bisa mengirimkan uang ke Tanah Air," katanya sambil terisak-isak. Tarmini mengaku sampai sekarang ibunya belum mengetahui nasib yang menimpanya, termasuk keberadaanya saat ini di penampungan KBRI.
Sebagaimana Isa dan Tarmini, Rosy AB (28) TKW asal Desa Ciburuy Kecamatan Padalarang Kabupaten Bandung juga mengalami nasib yang sama. Perempuan berparas cantik itu mengaku tertipu dijadikan pelacur di negara tetangga tersebut.
Rosy yang memiliki postur tubuh tinggi semampai dan berambut panjang itu kemudian menceritakan bagaimana bisa sampai ke Malaysia. Ia berangkat pada September 2003 lewat jasa seseorang bernama Helen, yang belakangan diketahui sebagai penyalur (agen) ilegal. Ia berangkat bersama tiga temannya. Perjalanan ke Malaysia lewat Jakarta, terbang ke Pontianak. Dari Pontianak ia naik mobil (jalan darat) ke Kucing (Malaysia). Setelah itu menuju Kuala Lumpur dengan pesawat terbang. Di Kuala Lumpur, Rosy yang memiliki hidung mancung itu tinggal di sebuah apartemen di kawasan Bukit Bintang bersama tiga temannya.
Dari sana ia mulai mencium gelagat tidak baik. Sebab, saat di Tanah Air ia dijanjikan akan bekerja di toko, tetapi ternyata tidak. Lebih dari itu, beberapa hari dirinya hanya diajak berputar-putar kota Kuala Lumpur. Pada suatu saat, agen penyalurnya menyuruh Rosy melayani tamu yang memesannya. Semula ia tidak mau, tetapi justru dimarahi agen dan dipaksa melayani tamu.
Pada suatu hari ia melarikan diri, tapi tertangkap lagi oleh agen. "Agen itu bernama Maeng. Anak buahnya banyak. Jadi, kalau perempuan sudah berada di tangannya sulit melarikan diri," ujarnya sambil menyibakkan rambut hitamnya.
Karena berusaha kabur, Rosy pun mendapat hukuman, yakni dikunci di dalam kamar kecil dua hari. Ia juga tidak diberi makan satu hari satu malam.
Bagaimana ia bisa kabur? Wanita itu menuturkan, suatu saat ada tamu yang minta dilayani dan ditemani beberapa hari. Ketika tamu itu pergi bekerja dan ruangan tidak dikunci, dirinya langsung kabur menuju KBRI.
Kepala Bidang (Kabid) Penerangan KBRI Malaysia Budhi Rahardjo saat dimintai konfirmasi mengenai masalah banyaknya TKW yang dijadikan pelacur mengakui hal itu. Namun, ia tidak tahu jumlah pastinya. Sebab, biasanya TKW yang ditipu dan dijadikan pelacur berangkat ke Malaysia secara ilegal. (58e)







Selasa, 3 Mei 2011 | 10:58 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Nasib tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, terutama mereka yang berprofesi sebagai pembantu rumah tangga, memang mengenaskan. Nasib mereka mengambang tidak pasti.
Pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengibaratkan nasib mereka seperti layang-layang. "TKI kita yang jadi pembantu rumah tangga itu tergantung penuh pada majikan, seperti layang-layang. Kalau baik ya enggak apa-apa. Kalau tidak ya dipukulin apalagi kalau kompetensinya rendah," ungkapnya di diskusi mingguan Polemik di Warung Daun Cikini, Sabtu (20/11/2010).
Nasib tenaga kerja perseorangan ini berbeda dengan nasib para TKI yang menjadi buruh di pabrik-pabrik luar negeri. Para buruh biasanya sudah memiliki pola perlindungan yang baik.
Untuk itu, lanjutnya, perlu kepastian perlindungan bagi para TKI yang menjadi pembantu rumah tangga. Hikmahanto memuji tindakan Menlu Marty Natalegawa yang sudah memanggil langsung Dubes Arab Saudi untuk Indonesia untuk menjelaskan langsung. Namun itu tidak cukup.
"Presiden juga harus sampaikan kepada Presiden Saudi Arabia untuk menegaskan kami tidak mau dijadikan budak di negara Anda," katanya.
Hikmahanto menegaskan dua hal yang harus dicapai dalam diplomasi, bahwa presiden telah melakukan perlindungan terhadap warga negaranya di luar negeri serta publik percaya bahwa presiden akan melindungi warga negaranya di mana saja.
Hal ini harus ditindaklanjuti pula dengan evaluasi pengiriman TKI ke Arab oleh Menakertrans. "Kita bisa saja seperti yang dikatakan Menlu, kita akan moratorium. Ki perlu bargaining," tandasnya.

Malangnya Nasib, TKI !
indosiar.com, Jakarta - Kekerasan terhadap Sumiati dan Kikim Komalasari, dua orang TKW yang bekerja di Arab Saudi, merupakan puncak gunung es, dari kasus kekerasan yang dialami TKI yang bekerja di luar negeri. Hal ini terjadi karena belum maksimalnya pemantauan terhadap TKI yang ditempatkan di luar negeri, dan penegakan hukum terhadap majikan yang masih belum mencapai rasa keadilan.
Para Tenaga Kerja Wanita ini tengah bersiap berangkat ke luar negeri. Semuanya memiliki satu harapan, mengubah nasib di negeri orang. Namun, harapan itu tak semuanya menjadi kenyataan. Ternyata, bekerja di negeri orang, tak selalu indah seperti yang dibayangkan.
Contohnya, Sumiati, seorang TKW asal Dompu, Nusa Tenggara Barat, mendapat perlakuan kejam dari sang majikan di Madinah, Arab Saudi. Bibirnya dipotong dengan gunting, dan sekujur tubuhnya mengalami luka-luka karena disiksa majikan.
Perlakuan buruk juga dialami Kikim Komalasari, seorang TKW asal, Cianjur, Jawa Barat. Bahkan nasib Kikim lebih tragis lagi. Dia ditemukan tewas dan mayatnya dibuang di tong sampah, di kota Abha (baca: ab-ha), Arab Saudi.
Pemerintah memandang serius kasus kekerasan terhadap TKW di Arab Saudi ini. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar, akhir pekan lalu mengunjungi rumah keluarga Kikim Komalasari di kampung Babakan Hurmat, Desa Mekar Wangi, Kecamatan Haur Wangi, Cianjur, Jawa Barat. Kepada suami dan anak Kikim Komalasari, menteri menyampaikan rasa duka mendalam.
Kasus kekerasan terhadap Sumiati dan Kikim Komalasari, hanya dua kasus dari berbagai kasus yang dialami TKI di Arab Saudi. Migrant Care mencatat, selama tahun 2010 ini, sebanyak 5.563 tki di Arab Saudi bermasalah, diantaranya mengalami penganiayaan dan kekerasan seksual.
Untuk mengurangi kasus kekerasan terhadap TKI, Duta Besar RI untuk Arab Saudi, Gatot Abdullah Mansyur menyatakan, akan memaksimalkan pemantauan terhadap TKI yang bekerja di Arab Saudi. Pihaknya juga akan mengambil tindakan tegas, terhadap perusahaan Pengerah Jasa TKI yang tidak melaporkan penempatan TKI di Arab Saudi.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan untuk menekan tindak kekerasan terhadap TKI di luar negeri, adalah proses hukum yang kerap kali terlambat. Menurut Koordinator Wilayah PDI Perjuangan Arab Saudi, Syarief, titik lemah pengusutan kasus TKI yang bermasalah, karena tidak adanya pengacara yang ditunjuk mengurusi para TKI di Arab Saudi.
Selain itu, tindakan hukum kepada majikan yang melakukan kekerasan terhadap TKI, masih jauh dari harapan. Direktur Eksekutif Migran Care, Anis Hidayah, dalam sebuah diskusi akhir pekan lalu mengatakan, tindakan hukum terhadap majikan yang menyiksa TKW sama sekali belum memenuhi rasa keadilan.
Sementara itu, Pakar Hukum Internasional, Profesor Hikmahanto Juwana minta kepada pemerintah, agar tidak ragu-garu mengambil langkah tegas, terhadap negara pemakai TKI, seperti melakukan moratorium.
Kasus kekerasan yang dialami Sumiati dan Kikim Komalasari menyadarkan kita, bawasannya pengiriman tenaga kerja ke luar negeri memerlukan aturan yang jelas dan perlindungan yang memadai, sehingga mimpi indah para TKI meraih “hujan emas” di negeri orang bukan sekedar harapan, tetapi benar-benar dapat menjadi kenyataan. (Tim Liputan/Sup)




Jum'at, 10 Desember 2010 , 09:37:00

NASIB tenaga kerja Indonesia (TKI) yang banyak mengalami penyiksaan sadis di luar negeri terus menggelisahkan dan mencemaskan masyarakat di republik ini. Bahkan, 12 organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam perlu berkumpul di kantor PB NU, Jakarta (7/12), untuk menyikapi masalah tersebut. Mereka mendesak dihentikannya pengiriman TKI ke luar negeri sebelum ada penandatanganan kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) yang menjamin perlindungan kepada TKI.

Melihat fakta yang ada, alangkah eloknya bila pemerintah mempertimbangkan desakan tersebut. Memang, berbagai upaya terus dilakukan pemerintah. Yang terbaru, pemerintah Indonesia yang diwakili Menakertrans Muhaimin Iskandar melakukan pembicaraan dan kesepakatan dengan pemerintah Arab Saudi untuk membentuk forum khusus setingkat pejabat senior (senior officer meeting) guna melindungi TKI (Jawa Pos, 8/12).
Namun, upaya tersebut rasanya belum bisa meyakinkan bahwa ke depan nasib TKI benar-benar akan lebih baik dan lebih terlindungi. Sebab, kenyataan di lapangan sering menyuguhkan pemandangan bahwa kinerja pejabat kita di luar negeri acap begitu buruk. Karena itu, berbagai aturan dan badan yang dibentuk tidak berfungsi secara maksimal.
Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah menyebutkan, di Malaysia, badan serupa senior officer meeting juga telah dibentuk. Namun, penyiksaan TKI di sana juga masih cukup tinggi serta kerap terjadi. Karena itu, Anis meminta pemerintah serius mengkaji efektivitas forum tersebut.
Sama halnya dengan sikap 12 ormas, dia pun mendesak agar dilakukan moratorium atau penghentian sementara pengiriman TKI ke Arab Saudi. Tentu, penghentian sementara itu bukanlah keputusan yang tak berisiko. Bila dilakukan, kebijakan tersebut jelas akan mengganggu ’’kesuksesan’’ pemerintah dalam mengurangi angka penganggur. Bagi
pemerintah saat ini yang sangat konsen dengan pencitraan, hal itu jelas merupakan preseden buruk yang tak boleh terjadi. Namun, bila kita masih peduli terhadap harkat dan martabat bangsa ini, seharusnya langkah ’’tidak populer’’ tersebut dilakukan.
Bersamaan dengan itu, pemerintah harus berusaha mengungkap akar persoalan yang sesungguhnya, mengapa nilai tawar TKI di luar negeri begitu rendah. Rasanya, tidaklah sulit untuk mencari jawabannya. Sebab, bisa dipastikan, di antara sekian penyebab, faktor pendidikan dan keterampilanlah yang menjadi faktor utama. Bila TKI yang dikirim ke luar negeri adalah tenaga-tenaga terdidik dan berketerampilan, tentu nasib mereka akan lebih baik. Kekerasan serta kekejaman majikan bisa pasti akan menurun signifikan. Sebab, sektor pekerjaan informal seperti PRT (pembantu rumah tangga) dengan sendirinya tidak akan menjadi pilihan. Dengan pendidikan dan keterampilan yang memadai, TKI sangat berpeluang bekerja di sektor-sektor formal yang memiliki aturan formal dan perlindungan hukum yang lebih baik.
Bila berbicara tentang tenaga kerja asing, semestinya di Indonesia pun jumlah mereka tidak sedikit. Bahkan, ada kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Namun, tenaga kerja asing yang datang ke negeri ini kebanyakan adalah tenaga ahli yang berpendidikan tinggi. Karena itu, mereka begitu dihormati. Bahkan, penghormatan tersebut acap diberikan secara berlebihan dan tidak proporsional. Mereka sering diperlakukan
istimewa dengan mendapat gaji lebih tinggi daripada pekerja lokal, kendati keahlian dan posisi yang dijabat sama. Karena itu, sudah saatnya bangsa ini berpikir soal harkat dan martabat bangsa. Sangatlah tidak pantas bila kita selalu mengagung-agungkan sumbangan devisa yang diberikan TKI di luar negeri tanpa memperhatikan harkat dan martabat mereka. Sebagai bangsa, seharusnya kita malu menerima devisa dari mereka bila hal itu ternyata terkumpul bersamaan dengan derita dan air mata. (*)



Dilaporkan 4.532 Kasus Kekerasan pada TKI di Tahun 2010
Jumat, 3 Desember 2010 | 15:16
[JAKARTA] Kasus kekerasan terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) tahun 2010 mencapai 4.532 kasus. Angka itu diperoleh berdasarkan laporan dari seluruh kedutaan besar RI di dunia. 

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Michael Tene mengatakan kasus terbanyak terjadi di Malaysia, sebab jumlah terbesar TKI berada di negara tersebut. "Itu baru jumlah kasus yang dilaporkan, yang tidak dilaporkan cukup banyak juga," kata Michael kepada wartawan di kantor Kemlu, Jumat (3/12).


Total WNI yang tinggal di luar negeri adalah 3.294.565. Dari jumlah itu, sebanyak 42 persen WNI tinggal di Malaysia dan sebanyak 19 persen di Arab Saudi. Sebagian besar menjadi TKI.

"Jenis kasus macam-macam, paling besar terkait pelanggaran kontrak, gaji yang tidak dibayarkan, jam kerja yang tidak sesuai, dan beban kerja tidak sesuai kontrak," kata Michael.

Dia merinci kasus kekerasan kepada TKI mencapai empat persen dari total kasus. Sedangkan, kasus kekerasan serius seperti penganiayaan atau pelecehan seksual sebanyak dua persen dari total kasus.

Menurut Michael, Kemlu sudah menyelesaikan 2.716 kasus atau sekitar 59 persen kasus. Sisa kasus masih dalam proses penyelesaian."Bukan tidak ditangani, tapi masih proses," ujarnya.

Michael menambahkan Kemlu selalu mendorong penyelesaian kepada proses hukum. Saat ditanyakan benturan dengan hukum Arab Saudi yang menghendaki penyelesaian di luar pengadilan, dia menjawab proses hukum memang bisa berujung hukuman badan atau denda.

Saat ini, menurutnya, Kemlu juga masih melakukan evaluasi pengiriman TKI sesuai instruksi Presiden SBY.
Terkait TKI yang tewas di Arab Saudi, Kikim Komalasari, Michael mengatakan jenazah masih dalam proses pemulangan. [C-5]

2.048 Kasus Kekerasan Terhadap TKI Terjadi di Arab Saudi
RABU, 8 DESEMBER 2010 | 23:07 WIB
A A A 
CIREBON, TRIBUN - Sepanjang 2009, sebanyak 2.048 kasus kekerasan terhadap tenaga kerja indonesia (TKI) terjadi di Arab Saudi. Angka tersebut mengantarkan negara Arab itu sebagai negara paling tinggi kasus kekerasannya terhadap TKI di luar neger

Dari 2.048 kasus kekerasan, 221 di antaranya sampai meninggal dunia. Sementara negara tempat tujuan TKI yang paling banyak terjadi kasus meninggal dunia adalah Malaysia, dengan jumlah kasus 687.

"Itu data yang kami miliki dari Kemenakertrans, BNP2TKI, Deplu, KBRI, dan pengaduan keluarga korban kekerasan di luar negeri," ujar Nurharsono dari Divisi Advokasi Migrant Care, dalam seminar tentang penanggulangan trafficking dan perlindungan buruh migran di Wilayah III Cirebon, Rabu (8/12) di Hotel Apita Cirebon.

Nurharsono mengatakan, data tersebut hanya merupakan sebagian kecil kasus yang menimpa TKI di luar negeri. Sebab pada kenyataannya bisa saja angkanya jauh lebih banyak dari itu, karena masih banyak korban yang enggan melapor dan tidak terdata di Kemenakertrans, BNP2TKI, Deplu, maupun KBRI.

Tentang tingginya kasus kekerasan yang menimpa TKI di luar negeri, kata dia, lebih karena sikap pemerintah yang tidak tegas dalam melindungi TKI. Bahkan ada fakta jika sebenarnya pemerintah mengkomoditaskan rakyat untuk pencapaian target pembangunan.
 (*)


Ribuan TKI Alami Kekerasan pada 11 Bulan Terakhir
Sabtu, 20 November 2010 | 10:24
[JAKARTA] Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengatakan, kekerasan yang terjadi pada buruh migran atau tenaga kerja Indonesia (TKI) sampai saat ini terbilang marak. Ribuan orang TKI mengalami kekerasan pada 11 bulan terakhir.

“Berdasarkan pantauan kami, ada 5.636 TKI yang menghadapi kasus serius dalam 11 bulan,” kata Anis dalam diskusi bertajuk “Pahlawan Devisa yang Tersiksa,” di Jakarta, Sabtu (20/11). Pembicara lainnya adalah Deputi Penempatan BNP2TKI Ade Adam Noch dan Pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana.

Anis menyatakan, perlindungan buruh migran melemah pascareformasi. “Sewaktu Gus Dur, justru lebih tegas dalam perlindungan TKI. Megawati pun hampir serupa ketegasannya dalam perlindungan terhadap TKI,” ucapnya.

Meskipun ada UU No 39/2004 tentang Penempatan Tenaga Kerja ke Luar Negeri namun kenyataanya UU tersebut justru melindungi PJTKI. “UU ini tidak punya skema yang jelas karena tidak melindungi buruh migran,” lanjutnya.

Dia menambahkan, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) hanya seperti lembaga penyantun. “Tidak ada respons. Kalau ada persoalan hanya menyantuni saja. Sumiati dan Kikim hanya fenomena gunung es. Masih banyak penyiksaan buruh migran yang belum terungkap,” imbuhnya.

Sementara pakar hukum internasional dari UI Hikmahanto Juwana mengatakan, pemerintah harus segera bertindak tegas dalam melindungi para TKI di luar negeri. “Tunjukkan sikap ketegasan kita dengan negara pengguna dengan memberikan perlindungan maksimal kepada TKI,” katanya.

Menurut Hikmahanto, ada sejumlah negara yang sampai saat ini belum mempunyai aturan atau sistim yang melindungi tenaga kerja. “Untuk negara-negara seperti itu, seharusnya pemerintah segera melakukan perjanjian bilateral. Bahkan, sebenarnya sudah ada konvensi internasional mengenai tenaga kerja tapi beberapa negara belum mau meratifikasinya,” paparnya lebih lanjut.

Hikmahanto menegaskan, pemerintah harus memastikan hukuman yang diberikan kepada majikan yang melakukan penyiksaan harus setimpal. 

Sementara itu, Ade Adan Noch dari BNP2TKI berjanji akan memperketat kualifikasi para TKI. “Ke depan kita perketat kualifikasi TKI. Sehingga, mereka lebih terampil,” katanya. Saat ini BNP2TKI tengah melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait, termasuk Kemlu. [W-12]



Marty Natalegawa: Ini Bukan Masalah Antarnegara

Tribunnews.com - Jumat, 19 November 2010 13:00 WIB
Share on Facebook Share on Twitter  Print Berita Ini   + Text 
Marty Natalegawa: Ini Bukan Masalah Antarnegaratribunnews.com/herudin
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa

Berita Terkait: TKW Dibunuh di Arab
Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Ismunadi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -
 Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menggarisbawahi bahwa musibah yang menimpa dua tenaga kerja asal Indonesia, Sumiati dan Kikim Komalasari, bukan masalah antara negara Indonesia dan Arab Saudi. Pasalnya, pemerintah Arab Saudi sendiri sudah secara terbuka menyikapi permasalahan tersebut.

"Saya kira itu pertama kalinya dilakukan Pemerintah Arab Saudi di mana secara terbuka dan tegas mengumumkan sikapnya. Selama ini Pemerintah Arab Saudi umumnya tidak pernah memberikan komentar terhadap kasus-kasus yang menimpa tenaga kerja asing, bukan hanya TKI," ungkap Marty saat ditemui di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Jumat (19/11/2010).

"Namun atas desakan dan anjuran pemerintah Indonesia, kemarin pemerintah Arab Saudi pun mengeluarkan pernyataan yang mengutuk dan mengecam peristiwa yang dialami Kusmiati. Dan saya yakin juga akan melakukan hal serupa dalam kasus yang terbaru, yaitu soal Kikim Komalasari," lanjutnya.

Dengan sikap tersebut, Marty menyebutkan permasalahan TKI disikapi secara bersama, baik Indonesia mau pun Arab Saudi. Proses ini berlangsung hingga memastikan adanya proses hukumnya untuk yang tertuduh atau yang bertanggung jawab atas kejadian tersebut.

"Dan ke depan bagaimana menghindarinya. Karena kita tentu tidak ingin menyikapi masalah ketika sudah terjadi seperti ini melainkan harus ada upaya-upaya pencegahan," tegas Marty.

Apakah TKI akan ditarik dari Arab Saudi? Marty menjelaskan ada data-data mengenai kasus yang dihadapi WNI di luar negeri. Namun data-data itu akan disampaikan pada waktunya. "Memang umumnya WNI di luar negeri tidak menghadapi permasalahan. Namun ada kasus-kasus seperti ini (Sumiati dan Kikim Komalasari) dan setiap kali terjadi kita harus peduli dengan berpihak memberikan perlindungan," imbuhnya.

"Tapi bagaimana ke depannya, apakah langkah moratorium atau langkah lain, itu harus kita kaji dengan benar-benar. Karena penetapan moratorium yang tidak bisa dilaksanakan itu adalah suatu kategori WNI di luar negeri jadi tidak sah," ujar Marty.(*)

Penulis: M. Ismunadi  |   Editor: Juang Naibaho
Akses Tribunnews.com lewat perangkat mobile anda melalui alamat m.tribunnews.com

JUMAT, 19 NOVEMBER 2010 22:02 ADMINISTRATOR
Jakarta, Sumbawanews.com.-  Pemeritah akan meninjau kembali dan mengevaluasi nota kesepahaman tentang ketenagakerjaan antara Indonesia dan negara-negara tertentu, baik itu kontrak-kontrak antara pekerja dengan perusahaan maupun rumah tangga. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan hal ini di Ruang Rapat Kantor Presiden, usai memimpin Rapat Terbatas Kabinet, Jumat (19/11) siang.

"Pemerintah Indonesia ingin ada satu
 fairness, ada satu kerjasama yang bersifat kooperatif," ujar Presiden. "Harus ada kesepakatan antara kedua pemerintah secara bilateral, ada kontrak tenaga kerja kita dengan yang mempekerjakan yang sekarang sudah kita lakukan dengan Malaysia," Presiden menambahkan.

Apabila ada negara yang tidak memberikan kontrak kerja transparan, pemerintah akan menempuh jalur diplomasi untuk melaksanakannya. Jika belum juga disepakati, akan dilakukan pembicaraan dengan para TKI. "Pemerintah ingin melindungi mereka meskipun pekerjaan itu pilihan. Saudara kita mau bekerja dimana tentu hak masing-masing, tapi pemerintah ingin melindungi mereka," SBY menjelaskan.

Selain itu, pemerintah juga terus-menerus melakukan perbaikan atas semua kebijakan, program, yang berkaitan dengan tenaga kerja, baik di dalam negeri maupun pada tingkat perwakilan kita di luar negeri. "Kita sangat serius untuk melakukan pembicaaraan menuju kerjasama yang tepat dan adil," SBY menegaskan.

Presiden menjelaskan, pemerintah akan mengambil beberapa langkah terlebih dahulu terhadap dua peristiwa yang menimpa TKI baru-baru ini di Saudi Arabia. Pertama, melakukan investigasi. "Kita ingin memastikan bahwa kedua insiden ini betul-betul dilakukan investigasi secara tuntas. Bukan hanya untuk mendapat keadilan bagi yang bersangkutan, tetapi menyangkut bagaimana kita menghadapi masalah serupa di waktu yang akan datang," Presiden SBY menjelaskan. "Investigasi ini untuk menemukan inti masalah sehingga kita bisa melakukan langkah-langkah yang lebih efektif lagi," SBY menambahkan.

Yang kedua, kerjasama dengan pemerintah Saudi Arabia terus dilakukan. SBY mengatakan, pihak Saudi Arabia sudah menunjukkan sikap positif. "Paling tidak sudah menahan dan meminta keterangan dari pihak yang mempekerjakan saudari kita di Saudi Arabia itu," ujar SBY. Presiden berharap hukum benar-benar ditegaakkan secara tegas dan adil.

Kepala Negara menambahkan, untuk segera menindaklanjuti masalah ini, pemerintah akan mengirimkan Meneg PP dan Perlindungan Anak Linda Gumelar ke Saudi Arabia untuk bertemu langsung dengan Sumiati dan keluarganya. Selain itu mengambil langkah-langkah yang diperlukan atas nama pemerintah dan negara RI. (presidensby/yun)


Diplomasi Harus Diperkuat


Rabu, 02 Maret 2011 
Kasus Darsem , Dana Ganti Rugi Sudah Terkumpul Rp2,3 M 
JAKARTA – Pemerintah harus mengambil alih permasalahan Darsem Binti Dawud secara penuh, sehingga persoalan yang dialami tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Subang itu segera terselesaikan. Penegasan tersebut diungkapkan Ketua Nasional Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) Lukman Hakim. “Pemerintah harus tegas dan mengambil alih kasus Darsem tersebut, termasuk persoalan ganti ruginya,” papar Lukman ketika dihubungi Koran Jakarta, Selasa (1/3). Selain itu menurutnya, jaring an hubungan diplomatik de ngan negara-negara penempat an TKI harus diperkuat, sehing ga persoalan seperti yang dialami Darsem bisa segera diselesaikan.

“Dengan kuatnya jaringan diplomatik, penyelesaian kasus TKI kita yang bermasalah di luar negeri bisa mendapatkan respons positif dalam masalah penanganannya. Negara yang kita maksud adalah Arab Saudi, Malaysia, Suriah, Kuwait, dan lainnya,” ungkap Lukman Selanjutnya, menurut Lukman, kejadian berulang-ulang pelecehan terhadap TKI kita yang bekerja di luar negeri harus direspons serius oleh pemerintah. Pasalnya, pemerintah terkesan baru menangani masalah ketika permasalahan tentang TKI tersebut mencuat. “Harus ada program preventif terhadap TKI kita yang bekerja di luar negeri agar kejadian- kejadian yang menimpa TKI kita tidak terulang kembali.

Seperti masalah Darsem adalah pelecehan seksual yang berakibat pembunuhan,” ujar nya. Selain itu, menurut dia, harus diciptakan sebuah konsep yang menjamin penempatan dan perlindungan bagi TKI yang bekerja di luar negeri. “Konsep tersebut harus berdampak postif bagi kantong-kantong besar TKI kita, seperti di Cirebon, Indramayu, Jawa Tengah, NTT, NTB,” sambungnya. Darsem menghadapi ancaman hukuman pancung setelah dituduh membunuh majikannya di Arab Saudi. Keluarga korban meminta uang diyat (ganti rugi) sebagai pengganti hukuman tersebut.

Penggalangan Dana Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Michael Tene mengatakan pemerintah terus berupaya mengumpulkan uang diyat (ganti rugi) bagi Darsem sehingga yang bersangkutan bisa terbebas dari hukuman pancung. Hingga saat ini, Michael mengatakan, pihaknya telah menerima dana 2,3 miliar rupiah dari 4,6 miliar rupiah yang dibutuhkan. “Kita berterima kasih atas bantuan donatur yang mendermakan sejumlah uangnya untuk membantu menyelesaikan masalah Darsem ini. Namun yang terpenting adalah bahwa Darsem tidak jadi dihukum pancung oleh pengadilan Riyadh,” ungkapnya kepada Koran Jakarta, kemarin.

Kemenlu bersama Kemenaketrans sedang mengusahakan sisa dari pembayaran diyat kepada keluarga korban, yaitu satu juta rial lagi, untuk memenuhi target diyat yang diminta ahli waris korban. “Ini kan sifatnya penggalangan dana, jadi tidak ada paksaan bagi para dermawan yang ingin membantu Darsem. Semoga dalam bulan ini dana yang digunakan untuk diyat sudah terkumpul sehingga masalah ini bisa selesai secepatnya,” ujarnya.

Sementara itu, mengenai TKW yang ditemukan di Gurun Mina Abdullah, Kuwait, akibat diperkosa berulang-ulang oleh kelompok tak dikenal, menurut Michael, pihak Kemenlu sedang menelusuri keberadaannya. Jadi, saat ini, keberadaan TKW berusia 26 tersebut belum terdata. “Sedang kita telusuri ke rumah sakit-rumah sakit di Kuwait tentang keberadaan TKW tersebut. Belum bisa kita publikasikan data diri TKW tersebut karena masih dalam proses pencarian. Kasus pemerkosaan ini juga telah masuk Kepolisian dan sedang ditangani oleh Kepolisian Kuwait,” tutupnya. 
alv/N-1



Jumat, 19 November 2010 - 14:38

TKW Dibunuh , Menlu Akan Panggil Dubes Arab Saudi

JAKARTA (Pos Kota) – Duka mendalam atas penyiksaan terhadap TKI kita di Arab Saudi yang menimpa Sumiati belum berakhir, kini muncul kabar buruk lagi yang menimpa Kikim Komalasari di Arab Saudi. Kikim tewas dan jenazahnya ditemukan di bak sampah, ia diduga korban penganiayaan.
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dalam keterangannya, Jumat, di Jakarta mengatakan pihaknya akan memanggil kembali duta besar Arab Saudi untuk Indonesia terkait meninggalnya Kikim. “Kami sekarang ini sedang mencari informasi dan data-data Kikim,” tambah Marty.
Untuk diketahui Kikim merupakan TKI yang berangkat ke Arab Saudi 15 Juni 2009 dan diberangkatkan ole h PT Bantal Perkasa Sejahtera.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar yang ditemui di Kantor Presiden, dengan berbagai kejadian yang menimpa TKI khususnya di Arab Saudi dan Jordania, pihak akan membuat nota kesepahaman dengan kedua negara itu untuk perlindungan TKI kita.
“Pemerintah akan membuat nota kesepahaman dan kalau belum ada nota kesepahaman maka mungkin akan dilakukan moratorium (pemberhentian) pengiriman TKI ke Arab Saudi. Pemerintah Indonesia sendiri sudah menghentikan pengiriman TKI ke Jordania,” tutur dia.
Muhaimin, pemerintah sedang melakukan evaluasi. Pemerintah akan mengevaluasi kemungkinan adanya kesepahaman yang saling menguntungkan terkait penempatan tenaga kerja di negara itu. (johara/B)