Minggu, 16 Januari 2011

Seni Rupa

Pendidikan Seni Rupa dengan Pendekatan Multikultur
Pendidikan seni rupa di sekolah umum yang semula hanya mencakup kegiatan menggambar, kemudian juga dikembangkan ke bidang seni rupa yang lain. Pergeseran ini telah berlangsung sejak permulaan abad ke-19. Sepanjang perjalanannya, pendidikan seni rupa di sekolah umum menawarkan beragam tujuan. Seperti apakah pendidikan seni rupa yang cocok diterapkan di Indonesia?
====================================================== 
Salah satu tujuan pendidikan seni rupa adalah mengembangkan keterampilan menggambar, menanamkan kesadaran budaya-lokal, mengembangkan kemampuan apresiasi seni rupa, menyediakan kesempatan mengaktualisasikan diri, mengembangkan penguasaan disiplin ilmu seni rupa, dan mempromosikan gagasan multikultural.
Pendidikan seni rupa sesungguhnya merupakan istilah yang relatif baru digunakan dalam dunia persekolahan. Pada mulanya digunakan istilah pengajaran menggambar. Penggunaan istilah pengajaran menggambar ini berlangsung cukup lama hingga kemudian digantikan dengan istilah pendidikan seni rupa sejalan dengan meluasnya cakupan pelajaran yang diberikan, serta bergesernya fokus pembinaan.
Pada pendidikan seni rupa, materi pelajaran yang diberikan tidak hanya menggambar tetapi juga beragam bidang seni rupa yang lain seperti mematung, mencetak, menempel, dan juga apresiasi seni.Fokus pembinaan tidak hanya pada pelatihan keterampilan koordinasi mata dan tangan, tetapi juga pada pengembangan fungsi jiwa yang memungkinkan anak menjadi sensitif dan kreatif.
Pendidikan seni rupa di sekolah hadir untuk memenuhi harapan masyarakat. Itulah sebabnya ia senantiasa berkembang mengikuti harapan masyarakat sebagaimana yang dapat ditelusuri pada uraian mengenai berbagai tujuan pendidikan seni rupa di sekolah.
Pengembangan keterampilan menggambar. Menggambar mulai diajarkan di sekolah umum di Eropa (sebagaimana sekolah umum yang dikenal dewasa ini). Tujuan pengajaran menggambar di sekolah adalah untuk menjadikan anak pintar menggambar melalui latihan koordinasi mata dan tangan yang amat ketat. Cara pengajaran seperti ini mengikuti pola pelatihan yang berlangsung di akademi seni rupa di Eropa.
Asselbergs dan Knoop (1995; 5) menuliskan tentang apa yang dilakukan oleh murid dalam kegiatan menggambar di sekolah di Belanda berdasarkan pendekatan ini sebagai berikut. Mereka belajar menggambarkan garis lurus, sudut, segi empat, lengkungan, dan lingkaran untuk kemudian menggambarkan bentuk tiga dimensional yang lebih rumit. Karena guru pada umumnya tidak cukup terampil dalam hal menggambar seperti yang harus dilakukan ini, maka mereka sangat tergantung pada buku pegangan yang berfungsi sebagai alat bantu mengajar.
Di Indonesia, pengajaran menggambar di sekolah berawal pada masa penjajahan Belanda sejalan dengan diperkenalkannya sistem persekolahan. Pengajaran menggambar di sekolah yang disponsori oleh pemerintah kolonial waktu itu, juga menekankan pada pelatihan keterampilan menggambar dengan harapan para lulusan dapat dimanfaatkan keterampilannya kelak saat bekerja untuk pemerintah.
Menurut Soedarso SP dan kawan-kawan (1972 ; 28) buku yang digunakan dalam pengajaran menggambar di sekolah, sama dengan yang dipakai di negeri Belanda yakni ''Het Tekenen Naar Vlakte Figuren'' karya Zwier dan Jansma. Buku ini berisi gambar yang melukiskan pemandangan alam Belanda dengan kincir angin, peternakan, serta bunga tulipnya yang terkenal untuk ditirukan oleh murid.
Sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia, praktik pengajaran menggambar masih meneruskan metode lama yang bertujuan untuk menjadikan anak pintar menggambar melalui pelatihan koordinasi mata dan tangan. Hal ini dapat dimengerti karena guru yang mengajar di sekolah mempraktikkan apa yang diajarkan kepadanya saat mereka bersekolah. Buku pegangan menggambar yang digunakan relatif sama dengan yang digunakan pada masa kolonial.

Penanaman Kesadaran Budaya Lokal

Meluasnya pengaruh metode pengajaran menggambar berdasarkan tradisi Barat (Eropa) menimbulkan reaksi negatif di berbagai negara di Asia. Di Jepang, misalnya, yang sejak masa Restorasi Meiji menerapkan tradisi menggambar ala Barat di sekolah, timbul keinginan untuk menanamkan pada diri murid rasa kebanggaan pada budaya tradisional Jepang. Cara yang ditempuh adalah dengan memperkenalkan teknik seni rupa tradisional Jepang di sekolah, misalnya dengan menggunakan kuas, dan bukannya pensil, dalam menggambar.
Perlunya murid mempelajari seni rupa tradisional Jepang kembali ditekankan pada masa Perang Dunia II. Menurut Masuda (1992, 102) pada Shotoka Zuga, buku teks pelajaran menggambar untuk sekolah dasar, ditegaskan bahwa guru harus menanamkan kepada murid akan kehebatan tradisi Jepang.
Di Cina, seni rupa tradisional seperti seni kaligrafi dan seni lukis juga menjadi bagian penting dari program pendidikan di sekolah dengan fokus kegiatan pada pengenalan teknik tradisional Cina sebagaimana yang diterapkan oleh para seniman.
Misalnya, bagaimana memegang dan menggoreskan kuas, caraduduk yang tepat, cara mencampur tinta, dan sebagainya. Teknik tradisional Cina ini diajarkan secara ketat dan murid tidak dibiarkan untuk bereksperimen sendiri. Tentu saja metode pengajaran yang serba ketat dan terikat seperti ini bukannya tanpa tujuan. Tujuannya adalah untuk menanamkan pada diri anak rasa memiliki budaya leluhur yang mereka agungkan.
Di Indonesia, kesadaran untuk menawarkan program pendidikan yang berakar pada budaya-lokal ditunjukkan oleh tokoh pendidik yang aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tokoh pendidik pejuang ini menyadari bahwa sistem persekolahan kolonial tidak kondusif bagi penanaman rasa kebanggaan terhadap budaya sendiri. Oleh karena itu, mereka mendirikan sekolah swasta dengan filosofi yang berbeda. Dua di antara sekolah tersebut adalah Taman Siswa dan Indonesische-Nederlansche School (INS).

Mengaktualisasikan Diri

Kecenderungan baru yang terjadi dalam dunia pendidikan seni rupa di awal abad ke-20 tidak hanya dipengaruhi oleh ide-ide yang berkembang dalam dunia pendidikan sehubungan dengan banyaknya studi tentang dunia kejiwaan anak, tetapi juga dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi dalam dunia kesenian, khususnya seni rupa.
Dalam dunia seni rupa, terjadi perubahan yang drastis di penghujung abad ke-19 yang ditandai oleh lahirnya berbagai corak lukisan dan patung yang sama sekali berbeda dengan corak lukisan dan patung mimesis atau ''peniruan alam'' yang telah mentradisi.Perubahan yang terjadi ini didorong oleh semangat para pelukis dan pematung untuk tampil secara bebas.
Meningkatnya apresiasi terhadap seni modern pada waktu itu mengantarkan pada diakuinya karya seni rupa anak (gambar, patung, cetak) sebagai karya seni dalam arti yang sesungguhnya.Frank Cizek, seorang seniman dan pendidik seni rupa dari Austria, merupakan orang yang pertama kali mengakui secara terbuka nilai intrinsik karya seni rupa anak (Efland; 1990, 195).
Cizek yakin bahwa karya seni rupa anak adalah karya seni yang hanya mampu dihasilkan oleh anak. Untuk itu, karya anak semestinya dibiarkan tumbuh bagaikan bunga tanpa pengaruh orang dewasa (Macdonald; 1970, 341- 342). Ide bahwa anak seharusnya dibebaskan dari pengaruh orang dewasa dalam kegiatan penciptaan karya seni rupa agar dapat mengaktualisasikan dirinya, kemudian populer dengan istilah pendekatan ekspresi-bebas atau pendekatan berbasis-anak.
Di Inggris, wacana pendidikan seni rupa multikultural mewarnai dunia pendidikan seni rupa di sekolah sejak dekade 1990-an. Karena pendidikan seni rupa multikultural dianggap penting dan menyangkut hal yang sensitif dan tidak mudah dilaksanakan, beragam pedoman penyelenggaraan serta perangkat kurikulum diterbitkan.
Berbagai pusat pendidikan seperti sekolah, museum, atau galeri seni rupa merekrut seniman dari kaum minoritas untuk dijadikan sebagai narasumber. Menurut Allison (1995, 148) di banyak kotabesar di Inggris, sekolah yang jumlah muridnya dari kelompok minoritas cukup signifikan, umumnya melaksanakan program pendidikan seni rupa multikultural.
Di Australia, pendidik seni rupa pendukung pendekatan multikultural mengembangkan program yang relevan dengan kondisi Australia yang kehidupannya didominasi oleh budaya Barat, sementara masyarakat asli Australia sendiri yakni aborigin, dalam berbagai hal terpinggirkan.
Di Indonesia, berbagai gagasan tentang pendidikan seni rupa multikultural juga mulai banyak dilontarkan. Pada Seminar dan lokakarya pendidikan seni yang disponsori oleh Universitas Negeri Jakarta dan Ford Foundation di Jakarta pada pertengahan April 2001, misalnya, pendidikan seni multikultural dengan fokus pada kegiatan apresiasi seni nusantara secara khusus dibahas. Pada umumnya peserta seminar setuju dengan gagasan pendidikan seni multikultural. Persoalannya adalah bagaimana melaksanakannya di sekolah agar tujuan yang diemban oleh pendidikan seni multikultural dapat dicapai. (From : Bali Post )


Kesadaran Akan Seni
OPINI | 05 November 2010 | 21:40http://stat.ks.kidsklik.com/statics/images3.5/icon01.jpg27 http://stat.ks.kidsklik.com/statics/images3.5/icon02.jpghttp://stat.ks.kidsklik.com/statics/images3.5/icon03.jpg Nihil.

Kebanyakan orang merasa bahwa dirinya tidak berjiwa seni, tidak mampu dibidang seni, atau enggan untuk belajar seni karena merasa kesulitan. Dengan adanya anggapan tersebut menyebabkan seseorang tidak tertarik untuk belajar seni, hanya cukup menikmati hasil karya seni orang lain tanpa adanya usaha untuk melatih diri supaya menghasilkan sebuah karya seni.
Begitu pula guru SD, karena mereka merasa kesulitan dalam mengajarkan seni kepada anak maka pelajaran senipun tidak diberikan kepada anak, setiap kali jam pelajaran seni, anak hanya ditugaskan untuk menggambar dan menggambar begitu pula seterusnya sampai mereka lulus dari SD. Hal tersebut menyebabkan anak yang dapat berkembang hanya anak-anak yang mempunyai bakat menggambar, sedangkan anak yang mempunyai bakat lain seperti menyanyi misalnya tidak dapat berkembang karena tidak ada wadah atau saluran yang menampung bakat mereka. Seni itu tidak hanya menggambar saja, akan tetapi  seni terdiri dari seni musik, seni tari, seni rupa, dan lain sebagainya. Berbagai macam seni tersebut harus diberikan kepada siswa supaya bakat yang ada pada diri mereka masing-masing siswa dapat tersalurkan. Dengan diajarkannya berbagai macam seni akan mengembangkan siswa menjadi lebih aktif dan kreatif. Anak yang kreatif, ia tidak akan putus asa selalu mencari jalan keluar ketika mempunyai masalah dan selalu bekerja keras.
Oleh karena itu sebenarnya pada tahap awal seorang guru SD cukup dituntut memiliki wawasan bahwa pengembangan pembelajaran akan lebih efektif melalui aktivitas seni. Selanjutnya guru memiliki apresiasi atau penghargaan terhadap seni. Perlunya guru Sekolah Dasar memiliki berbagai persepsi, pemahaman yang lengkap dan komprehensi tentang begitu pentingnya pengembangan seni bagi anak bukan hanya sebagai bahan ajar akan tetapi jauh lebih penting digunakan sebagai media pembelajaran (Education Through Art) yang telah dikembangkan justru oleh negara-negara yang telah maju dalam bidang IPTEKnya. Mereka mengembangkan IPTEK bukan dengan cara penanaman ilmu secara langsung, tetapi melalui senilah pengembangan dan penguasaan ilmu pengetahuan jauh lebih mudah berhasil. Hal ini didasarkan bahwa dunia anak adalah dunia seni dan bermain, maka pengembangan pembelajaran melalui kegiatan seni dan bermain (Education Trough Art and Play). Sehingga guru memungkinkan memadukan mempelajari bidang-bidang studi dalam pendidikan seni atau seni terpadu. Hal ini didasarkan, bahwa pada dasarnya seni adalah menyenangkan dan mempelajari seni hendaknya juga suatu kesenangan. Hal ini dapat terjadi jika seni diajarkan atau dikembangkan sebagai seni bukan sebagai pengetahuan yang harus dihafal. Berbagai bentuk seni menimbulkan rasa senang, haru dan kekaguman akan memotivasi anak untuk berekspresi mengemukakan ide untuk dikomunikasikan secara bebas tanpa tekanan yang merupakan kekuatan kondisional yang besar sekali pengaruhnya terhadap pencapaian hasil belajar. Contohnya pelajaran matematika dipadukan dengan seni yaitu melalui bernyanyi “Satu-Satu” mengembangkan konsep urutan bilangan, “Satu ditambah satu sama dengan dua” mengembangkan konsep penjumlahan.
Sehingga dengan melihat karakteristik anak SD yang masih dalam taraf bermain maka diharapkan pelajaran seni diajarkan kepada siswa SD. Selain itu suatu bidang studi juga dapat divariasikan dengan seni yang memungkinkan proses belajar mengajar akan lebih efektif dan pembelajaran akan terasa lebih menyenangkan.
SENI
Seni merupakan karya manusia yang melibatkan ide, gagasan, gerak hati, perasaan, pikiran, membuat, menyusun, memproses sehingga menghasilkan satu wujud visual yang memiliki nilai keindahan dan menimbulkan perasaan,
Seni mempunyai dua prinsip yaitu prinsip bentuk dan keaslian yang mana bentuk adalah fungi persepsi dan keaslian adalah fungsi imajinasi.
Menurut Barret (1982), syarat mendasar dari seni yang ia katakan sebagai sifat dasar seni:
·         Elemen Konsep, elemen ini mempersyaratkan adanya ide, gerak hati dan perasaan
·         Eleman Operasional, elemen ini meliputi media, materi dan teknik
·         Elemen sintesis, merupakan dinamika visualisasi bentuk yang diarahkan pada struktur bentuk yang digunakan untuk menyampaikan konsep melalui materi-materi.
ESTETIKA
Mayesky (1990) menyatakan estetis berkenaan pada satu apresiasi bentuk keindahan dan perasaan haru dan kekaguman.
Estetika dapat dipandang dari berbagai aspek, tetapi pegangan untuk memahami nilai-nilai estetika yang dipergunakan dalam karya seni terdapat nilai bahwa estetika terdiri dari:
·         Absolutisme, doktrin tentang pembakuan suara atau pengakuan mengenai keindahan.
·         Anarki, doktrin ini menggerakkan penilaian kepada masing-masing pribadi secara murni, sebjektif dan tidak perlu tanggung jawab.
·         Relativisme, doktrin ini menggunakan kriteria atau pembakuan tentang nilai estetika yang tidak mutlak tetapi masih objektif dan dalam pemikiran.
KREATIVITAS
Campble (1995) menyatakan bahwa  kreativitas adalah kegiatan yang mendatangkan hasil yang sifatnya baru, berguna dan dapat dimengerti. Baru berarti bersifat inovasi, belum ada sebelumnya, segar, menarik dan aneh. Berguna berarti dapat memberikan kepuasan, praktis, memudahkan, memperlancar dan sebagainya.
Tiga ciri umum orang kreatif:
·         Ciri-ciri pokok, meliputi: memiliki kelincahan mental, fleksibilitas konseptual, orisionalitas, suka hal-hal yang bersifat kompleks, memiliki kecakapan dalam banyak hal.
·         Ciri-ciri yang memungkinkan, meliputi: suka bekerja kers, berpikir mandiri, pantang menyerah.
·         Ciri-ciri sampingan, meliputi: kurang memperdulikan yang dipikirkan orang lain
Tahap perkembangan kreativitas:
·         Persiapan
·         Konsentrasi
·         Inkubasi
·         Iluminasi
·         Verivikasi atau produksi
Isenberg (1993) menyatakan bahwa secara umum perilaku anak kreatif adalah:
·         Lebih banyak aktif dari pada pada pasif
·         Memiliki inisiatif
·         Dapat tampil dengan semua anak dalam berbagai situasi    (From : Kompas.com )


Pelajaran Kesenian di Mata Pendidik

  |  2008-03-03 
                Upaya pengemban seni kita untuk mengangkat seni daerah sebagai budaya bangsa cukup mendapat respon dari pihak pemerintah. Namun, pancaran seni budaya tidak secerah di jaman masyarakat yang belum mengenal megahnya jaman modern. Kesibukan dan kepentingan pribadi turut menghalau perhatian, sehingga kiat mereka dalam menampilkan seni budaya hanya sebagai tontonan belaka, tanpa perduli arti nilai seni budaya. Masyarakat sekarang ini hanya tersorot kepada budaya asing, yang dianggap lebih mengangkat prestise diri di jaman modern ini.
Untuk mempertahankan eksistensi seni sebagai budaya bangsa, salah satu ruang yang lapang dan landasan pengenalan seni adalah pendidikan sebagai wadah utama. Dalam lingkup ini, guru pendidikan seni sebagai dinamisator menanamkan seni budaya daerah dalam jiwa anak-anak bangsa. Meski kita ketahui, guru seni memiliki suatu keterbatasan kompetensi dalam mengajarkan pendidikan seni di sekolah. Apalagi pelajaran seni sendiri mencakup empat cabang yang meliputi seni tari, seni musik, seni rupa; seni yang harus diajarkan dalam satu semester di tingkat Sekolah Dasar dan Menengah.
Keempat jenis kesenian ini tidak mungkin diajarkan oleh seorang guru seni saja. Tetapi diajarkan oleh guru-guru yang sesuai kompetensinya masing masing. Hal ini dapat terpenuhi apabila sekolah mampu mengadakannya, termasuk menyediakan fasilitas yang dibutuhkan. Apatah lagi dalam mengajarkan seni tari, yang butuh sarana alat musik daerah yang harganya cukup lumayan. Sementara dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang disiapkan belum tersalur dalam pelajaran seni tersebut.
Tantangan ini membutuhkan suatu kerja keras bagi guru-guru pendidikan seni. Gagasan dan kreatifitas guru pendidikan seni adalah modal utama, untuk meyakinkan pihak-pihak yang bersangkutan agar mereka tergugah memperhatikan lebih dalam nasib guru-guru pendidikan seni yang mengajar di sekolah-sekolah terpuruk dan belum mapan.
Mengajarkan pendidikan seni selain pemahaman konsep materi, penanaman kesadaran akan potensi yang dimiliki setiap siswa merupakan hal yang utama. Di samping itu pula siswa harus dapat menampilkan kreatifitas karya-karya seni melalui pameran dan pagelaran yang dilaksanakan di sekolah masing-masing.
Kegiatan pameran ataupun pagelaran harus terlaksana sebagai akhir tercapainya tujuan pembelajaran pendidikan seni. Dan sebagai penentu tercapainya aspek kompetensi yang terpatri dalam tubuh pendidikan seni adalah aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Oleh karena itu, tidak salah jika pelajaran ini dikategorikan sebagai mata pelajaran yang bersifat dinamis karena dalam kurikulum apapun yang berlaku, kateri kesenian tetap fleksibel dalam menerapkan metode dan strategi pembelajarannya. Terutama penerapan Kurikulum Berbasis Kompotensi (KBK) yang selanjutnya menuju Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Dari ilustrasi di atas dapat kita pahami bahwa pendidikan seni memiliki kekhasan tersendiri yang tak dimiliki mata pelajaran lain. Namun toh pelajaran ini masih dianggap tidak urgen. Guru pendidikan seni dianggap biasa-biasa saja karena pelajaran ini dianggap ringan, tidak membutuhkan pengolahan intelektual untuk mencapai hasil pembelajaran.
Pandangan ini sudah mendarah daging dalam dunia pendidikan. Mereka kurang menyadari bahwa dalam mempelajari seni, pengolahan intelektual amat berperan, baik dalam penanaman konsep maupun penerapannya melalui demonstrasi. Dalam seni tari, misalnya, pemahaman gerak dan kemampuan melakukan gerak tari secara ekspresif serta penyesuaian ritme irama, tak akan mungkin tercapai apabila seorang penari tidak memiliki kompetensi dan kecerdasan yang tinggi saat melakukan gerakan-gerakan tersebut.
Begitu pula dalam menikmati suatu karya seni. Dibutuhkan kemampuan apresiasi yang tinggi untuk memahami lebih dalam nilai-nilai karya seni, yang tentunya dapat tercapai apabila penikmat seni itu memiliki tingkat kecerdasan dan kemampuan menanggapi makna-makna yang terkandung dalam karya seni tersebut.